MilitaryAddictBlog

"berisi tulisan-tulisan tentang informasi yang berkaitan tentang fakta, analisa dan fenomena tentang sejarah dan militer. melawan lupa teruntuk peristiwa yang pernah singgah di setiap riak langkah kehidupan manusia"

Pertempuran Iwo Jima

Perang Dunia II di Asia-pasifik atau yang juga disebut dengan Perang Asia Timur Raya ditandai dengan serbuan Jepang ke Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. Sejak saat itu, pasukan jepang melancarkan invasi besar-besaran ke berbagai Negara di kawasan asia. Sepanjang perjalanan berlangsungnya Perang Asia Timur Raya, Banyak kisah-kisah pertempuran yang menarik untuk di bahas. Salah satunya adalah Pertempuran Iwo Jima yang dikenal sebagai salah satu pertempuran paling berdarah antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Dikatakan paling berdarah karena pulau Iwo Jima yang menjadi lokasi pertempuran adalah pulau milik Jepang yang menjadi lokasi pertahanan penting karena perannya sebagai lokasi radar peringatan dini kepada Tokyo dari serangan-serangan udara Sekutu. Sedangkan pihak Amerika dan sekutu menganggap lokasi Iwo Jima yang strategis karena berada pada jalur bagi pesawat-pesawat pengebom yang ditugaskan untuk membombardir wilayah-wilayah vital Kekaisaran Jepang. Sehingga jika Iwo Jima dapat dikuasai, maka pulau tersebut dapat dijadikan pangkalan pesawat-pesawat tempur dan pengebom  serta akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan bagi pesawat-pesawat tersebut untuk mencapai wilayah jepang. Dengan begitu dapat menghemat bahan bakar pesawat dan pengeboman dari udara bisa lebih efektif dilakukan. Oleh karena itu, masing-masing pihak baik Jepang maupun Amerika Serikat bertempur mati-matian untuk mempertahankan dan menguasai Pulau tersebut. Secara singkat, dibawah ini akan dipaparkan hal-hal seputar pertempuran Iwo Jima.

Latar Belakang Pertempuran

Setelah mengalami kekalahan yang mengejutkan di Midway, laut Filipina dan Teluk Letye, angkatan Laut Kekaisaran Jepang tidak berdaya di hadapan Gugus Tugas Amerika yang menjelajahi pasifik dan selalu mendampingi tiap pendaratan amfibi. Di Pasifik Tengah, pasukan Jenderal MacAthur telah bergerak maju melalui Kepulauan Solomon dan di sepanjang Papua, dan pada Oktober 1944 telah menginvasi Letye di Filipina, memenuhi sumpahnya “saya akan kembali.” Melalui pulau-pulau dan atol-atol di utara, pasukan Marinir AS Laksamana Nimitz bergerak maju dengan operasi “lompat pulau” yang dimulai di Tarawa pada 1943 dan akan mencapai puncaknya di Okinawa pada 1945. Marinir hanya merebut pulau-pulau yang penting untuk mendukung operasi lebih lanjut dan melewati serta menetralkan yang lainnya; sampai dengan Agustus 1944 Marinir telah menduduki pulau-pulau utama kepulauan Mariana-Guam, Saipan dan Tinian.

Berbicara mengenai pulau-pulau yang penting, Pulau Iwo Jima memiliki lokasi yang strategis, berada di tengah-tengah rute pengebom B-29 Superfortress dari kepulauan Mariana menuju Tokyo, membuat pulau tersebut perlu dikendalikan Amerika Serikat. Sebelum pendudukan Saipan, Tinian dan Guam, pesawat pengebom B-29 hanya bisa melakukan serangan ke Jepang selatan dari pengkalan di tiongkok tengah. Karena ada kesulitan mengangkut seluruh bahan bakar lewat jalan udara melalui ribuan kilometer wilayah yang tak bersahabat dan terbatasnya daya angkut bom, maka serangan-serangan tersebut menimbulkan dampak kecil. Namun, dengan dibangunnya lima lapangan udara besar berjarak 2.400 kilometer dari daratan Jepang, terbukalah jalan bagi Pasukan Angkatan Udara Ke-20 untuk melaksanakan serangan besar terhadap jantung industri jepang.

Satu-satunya halangan dalam jalur penerbangan adalah Iwo Jima. Di sana terdapat dua lapangan terbang dan yang ketika dengan dalam pembangunan, serta satu stasiun radar yang dapat memberikan peringatan kepada Tokyo dua jam sebelum datangnya serangan dari Saipan. Angkatan Udara sekutu sangat perlu menghilangkan ancaman serangan pesawat pemburu dari lapangan terbang Iwo Jima dan melumpuhkan stasiun radar yang berada di sana. Kalau pulau itu dikuasai Amerika Serikat, juga ada banyak manfaaat lain, seperti tempat berlindung bagi pengebom yang rusak berat, fasilitas untuk pesawat amfibi penyelamat, dan yang lebih penting, pangkalan pesawat pemburu jarak jauh P-51 Mustang untuk mengawal pengebom Superfortress pada paruh kedua perjalanan jauh menuju Jepang.

 Pihak yang berseteru

Menghadapi pasukan pertahanan jepang, Amerika mengerahkan tiga divisi Marinir. Divisi Marinir ke-3, ke-4 dan ke-5, dengan anggota 70.000 lebih prajurit yang kebanyakan merupakan veteran berpengalaman dari operasi yang sebelumnya. Divisi Marinir ke-3 masih berada di Guam sebelum merebut pulau tersebut pada Agustus 1944. Sementara Divisi Marinir ke-4 dan ke-5 akan dikerahkan dari kepulauan Hawaii. Angkatan Laut dijadwalkan unutk melaksanakan bombardemen menaklukkan pertahanan musuh sebelum invasi.

Pada 15 Februari 1945, armada invasi meninggalkan Saipan. Pertama-tama LST (Landing Ship Tank) yaitu Kapal Pendarat Tank yang mengangkut pasukan gelombang pertama Divisi Marinir ke =-4 dan ke-5. Hari berikutnya berangkatlah kapal pengangkut pasukan dengan pasukan Marinir sisanya serta sebagian besar tank, perbekalan, artileri dan satuan-satuan pendukung. Armada tersebut dengan cepat terlihat oleh pesawat patrol Angkatan Laut Jepang dan pasukan pertahanan Iwo Jima segera bersiaga. Jenderal Kuribayashi sebelumnya telah membagikan dokumen berjudul “Sumpah Pertempuran Pemberani” kepada pasukannya. Yang salah satu poinnya menegaskan bahwa setiap orang wajib membunuh sepuluh orang musuh sebelum mati. Dengan pertahanan yang telah disiagakan dan pasukan yang siap bertempur sampai mati, Kuribayashi menunggu pasukan penyerang dengan sabar.

Pimpinan tertinggi Jepang tahu akan pentingnya Iwo Jima dan sejak awal Maret 1944 mulai memperkuat pertahanan pulau tersebut. Resimen Infantri ke-145 yang dipimpin Kolonel Masuo Ikeda, yang semula ditujukan untuk memperkuat pertahanan Saipan, dialihkan ke pulau tersebut. Dalam masa menjelang penyerangan Marinir pada 1945, Divisi ke-109, termasuk brigade Gabungan ke-2 (Mayjen senda), Resimen Tank Ke-26 (Letkol “Baron” Takeichi Nishi), Resimen infanteri Gabungan ke-17 (Mayor Tamachi Fujiwara), Brigade Artileri (Kolonel Cho Saku Kaido) dan Batalion Anti Serangan Udara, mortar, meriam dan senapan mesin tambahan dikirimkan ke pulau tersebut. Satuan-satuan Angkatan Laut, kebanyakan anti serangan udara, komunikasi, perbekalan dan grup zeni berada di bawah pimpinan Laksamana Muda Toshinosuke Ichimaru yang juga bertanggung jawab atas Armada Udara ke-27. Pada satt pendaratan Marinir tanggal 19 Februari 1945, jumlah total pasukan bertahan jepang mencapai 21.060 prajurit. Lebih banyak daripada perhitungan Amerika yang hanya 13.000 prajurit.

Kondisi geografis

Kondisi geografis pulau Iwo Jima mendikte lokasi pendaratan bagi pasukan invasi. Dari foto udara dan foto periskop yang diambil dari kapal selam USS Spearfish, sangatlah jelas bahwa hanya ada dua bagian pantai yang dapat didarati pasukan Marinir beserta unsur pendukungnya. Jenderal Kuribayashi juga telah menyimpulkan hal yang sama beberapa bulan sebelumnya dan menyesuaikan rencananya dengan kesimpulan itu.

Pulau Iwo Jima panjangnya sekitar empat setengah mil atau sekitar 7,2 km dan sumbunya mulai dari barat daya ke barat laut. Meruncing dari lebar dua setengah mil di bagian utara sampai hanya setengah mil di bagian selatan. Sehingga luas tanah seluruhnya sekitar tujuh setengah mil persegi atau 19,4 . Di bagian ujung selata menjulang Gunung Suribachi, gunung berapi yang tidak lagi aktif setinggi 550 kaki (168 m) yang dari atasnya sebagian besar pulau bisa terlihat. Sedangkan pantai yang merentang ke utara dari Suribachi adalah satu-satunya tempat yang mengkin dijadikan lokasi pendaratan. Pada dataran tinggi tengah bagian selatan pulau, dibangun Lapangan Udara No. 1 dan ke utara terdaprt dataran tinggi laninnya dengan diameter kurang lebih satu mil menjadi lokasi Lapangan Udara No.2 dan Lapangan Udara No.3 yang berlum selesai. Sementara tanah yang menurun dari dataran tinggi di utara itu penuh dengan lembah, punggung bukit, ngarai dan batu-batuan mencuat yang menyediakan tempat ideal untuk pertempuran bertahan.

Strategi Pertempuran

Di pihak Amerika Serikat, rencana penyerangan yang dirancang oleh para perencana Korps Amfibi V yang dipimpin oleh Mayjen Harry Schmidt terlihat kelewat sederhana. Pasukan Mrinir akan mendarat di pantai sepanjang dua mil yang berada di antara gunung Suribachi dan East Boat Basin di pesisir tenggara Iwo Jima. Pantai itu dibagi dalam 7 bagian, masing-masing selebar 550 yard (914 m). di bawah baying-bayang gunugn Suribachi terdapat Green Beach (Batalion ke-3 dan ke-2, Resimen ke-28), di sebelah kanannya Red Beach 1 (Batalion Ke-2, resimen ke-27), Red Beach 2 (Batalion Ke-1, Resimen ke-27), Yellow Beach 1 (Batalion ke-1, Resimen ke-23), Yellow Beach 2 (Batalion ke-2, Resimen ke-23), Blue Beach 1 (Batalion ke-1 dan ke-3, Resimen ke-25). Blue beach 2 berada tepat di bawah sarang senjata musuh yang berada di penggalian batu yang menghadap ke East Boat Basin dan diputuskan bahwa Batalion ke-1 dan ke-2 Resimen ke-25 akan mendarat berdampingan di Blue Beach 1. Sedangkan Resimen ke-28 akan menyerang langsung menembus bagian terpendek pulau Iwo Jima menuju ke pantai diseberangnya, lalu berbelok ke kiri, mengosilasi dan mengamankan Gunung Suribachi. Disebelah kanan, Resimen ke-27 juga akan menyeberangi pulau dan bergerak ke utara, sementara resimen ke-23 akan merebut Lapangan Udara No.1 laulu kemudian bergerak kea rah utara menuju Lapangan Udara No.2. Resimen ke-25 yang berada di paling kanan akan dikerahkan ke kanan untuk menetralisir datarn tinggi di sekitar penggalian batu yang menghadap ke East Boat Basin.

Strategi yang dilakukan oleh Jenderal Kuribayashi strategi bertahan dengan memanfaatkan kondisi geografis Iwo Jima. Dengan kedatangan lebih banyak pasukan dan buruh Korea, Kuribayashi memulai program pembangunan pertahanan bawah tanah besar-besaran. Jejaring terowongan, gua, dudukan senjata, kubu pertahanan dan pos komando yang rumit dan luas dibangun dalam Sembilan bulan sebelum invasi. Bebatuan vulkanik lunak mirip batu apung di Iwo Jima sangat mudah digali dengan perkakas tangan dan tercampur dengan baik dengan semen sehingga menjadi perbentengan yang baik. Beberapa terowongan berada 75 kaki (23 m) di bawah permukaan tanah, sebagian besar saling berhubungan dan banyak diantaranya dialiri listrik atau menggunakan lampu minyak.

Tempat-tempat perbekalan, penyimpanan amunisi dan bahkan tempat pemutaran film yang beroperasi juga ada dalam sistem pertahanan tersebut. Pada puncak pertempuran banyak anggota Marinir yang melaporkan mendengar suara-suara dan pergerakan yang datangnya dari tanah di bawah mereka. Melalui terowongan-terowongan itu pula banyak tentara jepang yang bertahan, meloloskan diri ke bagian utara pulau ketika gunung Suribachi terisolasi. Benteng pertahanan beton dan tempat senjata berat dibangun setengah terkubur dalam tanah dan begitu kokoh sehingga sebagian besar gagal dihancurkan bombardemen Angkatan Laut dan pengboman dari udara selama berminggu-minggu.

Sang jenderal telah mempelajari metode pertahanan Jepang terdahulu yang mencoba menghentikan musuh di daerah pendaratan di pantai dan menyadari metofe itu selalu gagal. Dia juga menganggap bahwa serangan “banzai” tradisional sebagai tindakan pemborosan sumber daya manusia dan sia-sia. Pada September 1942 di peleliu, komandan pasukan Jepang Letjen Inoue, telah meninggalkan taktik yang ketinggalan zaman itu dan berkonsentrasi untuk menghabisi dan melelahkan musuh dari posisi yang sebelumnya telah direncarakan dan dipersiapkan di pegunungan Umurbrogol. Kuribayashi menyetujui taktik seperti itu. Dia tahu bahwa pada akhirnya Amerika akan menguasai Iwo Jima, namun ia bertekad untuk menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Marinir sebelum mereka berhasil. Menurut pengakuan Mayor Yoshitaka Horie dalam wawancara dengan seorang perwira Marinir setelah perang, peran meriam penangkis udara dalam pertempuran Iwo Jima justru banyak membantu saat digunakan sebagai artileri penghancur tank. Hal ini disebabkan karena Amerika lebih unggul di udara baik sebelum mauapun selama pertempuran. Banyak meriam penangkis udara yang ditempatkan didalam lubang-lubang parit Gunung Suribachi untuk menghabisi gerakan pasukan dan tank yang ada di bawahannya sekaligus mencegat pesawat-pesawat Amerika yang melintas di depannya.

Hari-Hari Penting Dalam Pertempuran

Pertahanan Kuribayashi (Hari-H)

Sebelum pendaratan, pasukan Marinir di bawah perintah Nayjen Harry Schmidt Komandan Korps Amfibi V, menginginkan adanya bombardemen selama Sembilan hari dari kapal perang dan kapal penjelajah dari Gugus Pendukung Amfibi (Gugus Tugas 52) yang dipimpin oleh Laksamana Muda William Blandy. Namun permintaan tersebut ditolak dan hanya ditawari tiga hari bombardier sebelumnya Marinir mendarat di pantai. Sementara itu, Hari-H Senin 19 Februari 1945, dimulai dengan cuaca cerah dengan jarak pandang tak terbatas. Ketika kapal perang dan kapal penjelajah menembaki pulau dan kelompok pesawat dari kapal induk melakukan serangan, pemindahan ribuan Marinir dari kapal pengangkut pasukan dan LVT mendapat momentum. Di sepanjang pantai pendaratan para Marinir, LVT, Tank dan kendaraan lain menemui hambatan berupa undakan abu vulkanik hitam halus setinggi 4,5 m. kaki para prajurit melesak sampai pergelangan, kendaraan amblas dan LVT serta tank Sherman terhenti hanya beberapa yard dari pantai. Sementara itu, berpegang kepada strategi Jenderal Kuribayashi, perlawanan jepang relatif kecil. Kuribayashi ingin Amerika mendaratkan pasukan berjumlah besar ke pantai sebelum memulai bombardir yang cukup terlatih dan terkordinasi. Banyak perwira Angkatan Laut Amerika keliru menyangka bahwa tembakan mereka yang terus menerus menghajar daerah di depan daerah pendaratan menjadi penyebab terbatasnya tanggapan musuh.

Ketika pasukan Marinir gelombang pertama berjuang untuk bergerak maju, gelombang demi gelombang selanjutnya tiba tiap 5 menit dan situasi segera memburuk. Jenderal Kuribayashi telah berniat membiarkan para penyerbu untuk bergerak maju menuju Lapangan Udara No.1 sebelum mulai menembakkan artileri dan mortirnya. Kemacetan yang terjadi di pantai merupakan bonus dan sekitar pukul 10.00 keganasan pertahanan Jepang ditampilkan. Dari posisi-posisi yang tersembunyi dengan baik mulai dari kaki gunung Suribachi sampai ke East oat Basin gelombang tembakan artileri, mortar, dan senapan mesin menghujani paintai yang penuh sesak. Ketika menjelang malam, pasukan Marinir menduduki satu garis pertahanan yang dimulai dari dasar gunung Suribachi melintasi garis pertahanan selatan Lapangan Udara No. 1 dan berakhir di kaki peggalian batu. Sedangkan garis O-1, sasaran Hari-H tidak berhasil dicapai.

Di atas Kapal Komando Eldorado, ”Howlin Mad” Smith mempelajari laporan hari itu. Kemajuan yang dicapai tidak sebaik yang dia harapkan dan jumlah korban membuatnya muram : Saya tidak tahu siapa dia, tapi Jenderal Japang yang mengatur semua ini adalah seorang bajingan yang pintar.” Katanya kepada sekelompok wartawan perang.

Serangan Kamikaze (Hari + 2)

Kapal-kapal Gugus Tugas Al yang mendukung pendaratan menjadi sasaran salah satu serangan Kamikaze pertama Perang Dunia II. Sebanyak 50 pesawat tentara jepang yang berasal dari kesatuan Serang Khusus Milate ke-2 yang berpangkalan di Katori datang dari arah barat laut. Dalam serangan ini, Kapal induk USS Saratoga dan Kapal induk ringan USS Bismarck Sea menjadi sasaran para kamikaze jepang. USS Saratoga mengalami kerusakan berat setelah dihantam oleh beberapa pesawat Mitsubishi AGM “Zero” AU Jepang, akibatnya menyebabkan kebakaran lebat di hangar dan meninggalkan lubang menganga 91 meter dibagian landasan. Pesawat pembom bermesin ganda Mitsubishi G4M “Betty” menabrak kapal induk ringan USS Bismarck Sea. Tabrakan tersebut mengakibatkan kebakaran yang tidak dapat di kendalikan. Dalam beberapa menit satu ledakan besar mengoyak buritan Bismarck Sea sehingga kapal itu terbalik dan tenggelam. Dalam serangan kamikaze tersebut, tercatat sebanyak 358 orang tewas, satu kapal induk tenggelam dan kapal lainnya rusak parah serta sisanya rusak ringan. Ini merupakan gambaran awal yang mengerikan dari kerusakan yang aan ditimbulkan dari serangan kamikaze ketika invasi Okinawa pada April 1945.

Foto dan Puncak Suribachi (H +4)

Tanggal 23 Februari 1945 adalah hari Resimen Ke-28 menguasai Gunung Suribachi. Letkol Chandler Johnson memberikan perintah untuk menduduki dan mengamankan puncak dan Marinir Peleton Ke-3 mulai bergerak pada pukul 08.00, regu patrol yang berkekuatan empat puluh orang yang dipimpin oleh Letnan Schier mendaki lereng utara dengan susah payah dan beberapa kesempatan harus menghadapi serangan musuh dengan granat tangan. Pada pukul 1020 bendera Amerika Serikat dikibarkan menggunakan sebatang pipa dan juru foto Leatherneck Loulowery mengabadikan foto tersebut. Di sepanjang bagian selatan pulau teriakan “bendera sudah berkibar” terdengar dan pasukan bersorak serta kapal-kapal membunyikan sirine. Sekitar pukul 12.00, bendera yang lebih besar dikibarkan untuk menggantikan bendera kecil yang pertama dan kejadian ini diabadikan oleh juru foto Joe Rosenthal dari Associated Press, dan menjadi foto yang paling terkenal dalam Perang Dunia II. Jenderal Kuribayashi tidak menyangka bahwa lokasi yang strategis tersebut jatuh begitu cepatnya. Sementara itu, Jenderal Harry Schmidt dan beberapa perwira AL lainnya turun ke pantai untuk mendirikan markas besar dan melakukan konsolidasi dan pembekalan ulang untuk merencanakan serangan pada hari selanjutnya.

Pendaratan Dinah Might (H +13)

Setelah menjalani dua minggu pertempuran paling berdarah yang pernah dialami Korps Marinir AS, satu komunikasi dikeluarkan pada pukul 17.00 dari pos Komando Jenderal Rockey, Erskine dan Cates : “Besok tidak akan ada serangan secara umum…semua divisi akan memanfaatkan hati itu untuk beristirahat, melengkapi diri dan bersiap untuk melanjutkan serangan pada 6 maret.” Sementara kejadian penting terjadi pada hari itu adalah kedatangan “Dinah Might” pesawat Pengebom B-29 Superfortress pertama yang mendarat di Iwo Jima. Dengan pintu tempat bom macet dan masalah saluran bahan bakar utama, pesawat tersebut harus berjuang keras dari satu misi pengeboman di barat daya Tokyo. Ketika hendak mendarat di Lapangan Udara 1, pasukan Jepang mengarahkan tembakan artilerinya ke sana. Namun akhirnya pesawat dapat mendarat tanpa terkena satupun tembakan. Pengorbanan besar Korps Marinir untuk merebut Iwo Jima sudah mulai membuahkan hasil menyelamatkan jiwa ribuan awak Angkatan Udara. Pada hari berikutnya, mulai disusul dengan pendaratan pesawat-pesawat tempur seperti P-51 Mustang dan P-61 Black Widow.

Serangan Banzai (H +16)

Pada hari ke-16 di sektor Divisi ke-4, Jenderal Senda dan Kapten AL Inouye bersama-sama dengan 1.500 prajuritnya melakukan serangan “banzai” setelah terdesak akibat kepungan yang dilakukan oleh Resimen ke-23 dan Resimen ke-24 yang menggiring pasukan Jepang tersebut kearah garis pertahanan Resimen ke-25. Serangan “banzai” yang sangat bertentangan dengan instruksi Jenderal Kuribayashi tersebut dilakukan pukul 24.00 untuk menyerang pasukan Marinir yang sedang beristirahat di daerah Lapangan Udara No.1. Sebelum melakukan serangan tersebut, Jenderal Senda telah menghubungi Kuribayashi untuk meminta persetujuan namun sang Jenderal marah besar dan menyatakan rencana itu sebagai tindakan yang tidak praktis dan bodoh. Namun Jenderal Senda dan Kapten Inouye tetap sepakat untuk melakukannya. Serangan “banzai” tersebut sebenarnya adalah usaha yang nekad untuk bergerak kea rah selatan menembus garis pertahanan Amerika, mendaki Gunung Suribachi dan mengibarkan bendera Jepang. Terjebak dalam cahaya suar yang biasa ditembakkan tiap malam oleh kapal perusak dari lepas pantai, pasukan tersebut dibinasakan oleh tembakan artileri dan senapan mesin. Perhitungan jumlah mayat pada pagi hari, hampir 800 tentara Jepang tewas, kemungkinan jumlah korban terbesar yang mereka derita dalam waktu satu hari dan membenarkan keengganan Jenderal Kuribayashi melakukan “banzai”. Korban dari pihak mariner adalah 90 tewas dan 257 luka-luka.

Gemuruh Pembom Tokyo (H +18)

Ketika malam hari, Marinir beristirahat setelah hari yang mengecewakan dimana hanya sedikit yang berhasil dicapai di garis depan Divisi ke-4 dan ke-5, terdengar dengung ratusan pesawat mengitari timur Iwo Jima. Tiga ratus dua puluh lima pengebom B-29 dari Saipan, Tinian, dan Guam sedang menuju Tokyo untuk melakukan serangan “Bumi Hangus” Jenderal Curtiss LeMay yang pertama. Dalam serangan spektakuler tersebut, telah menghancurkan hampir seperempat Tokyo dan membunuh 83.793 orang penduduknya.

Pertahanan Terakhir (H +19)

Pada 10 Maret atau hari ke-19, pertempuran telah mencapai puncaknya. Pasukan Jepang semakin mendekati akhir ketahanan ketika mereka semakin kekurangan prajurit, kekurangan amunisi dan kekurangan makanan serta air. Di ujung barat laut pulau, Kuribayashi mempersiapkan kantung pertahanan terakhirnya, yang akan disebut “Lembah Maut” (Death Valley) oleh para Marinir. Lembah yang berada di selatan ujung Kitano ini menjadi mimpi buruk terakhir pasukan Amerika. Sekitar 1.500 prajurit Jepang yang tersisa telah bersiap untuk laga yang terakhir.

H +20-H +36

Pada minggu-minggu terakhir menjelang berakhirnya pertempuran, pasukan Jepang yang tersisa masih bertahan dan mencoba melakukan serangan terakhirnya dalam keputusasaan. Mereka terpojok di tiga daerah yang terpisah. Pertama, di Kantung Cushman yang menjadi tanggung jawab Divisi ke-3 Marinir. Perlahan, pasukan dari Divisi tersebut dapat menggilas sisa-sisa pasukan Baron Nishi. Pasukan Baron bertahan sampai akhir menggunakan tank yang ditanam sebagai artileri dan bertarung dari jejaring gua yang rumit hingga akhirnya Kantung Cushman dapat direbut. Sang Baron Nishi beserta seluruh pasukannya tewas. Kedua, di daerah pantai timur yang berada diantara Desa Higashi dan laut. Divisi ke-4 Marinir harus menuntaskan sisa pasukan pimpinan Jenderal Senda yang masih bertahan. Meskipun jumlah tawanan dari pasukan tersebut sudah mencapai kira-kira 300 orang dan usaha untuk mencegah pertumpahan darah lebih parah sudah dilakukan oleh Jenderal Erskine, namun usaha tersebut sia-sia. Pembantaian akhirnya terus terjadi sampai 4 hari hingga seluruh pasukan ditumpas habis. Jasad Jenderal Senda tidak pernah ditemukan. Ketiga, di maskas besar terakhir Jenderal Kuribayashi di Lembah Maut. Divisi ke-5 harus mengakui kehebatan pasukan terakhir pimpinan Jenderal Kuribayashi itu dan bertarung selama sepuluh hari dengan tambahan Korban sebanyak 1.724 orang.

Pada 24 Maret, pasukan musuh tinggal bertahan di daerah seluas 46 meter persegi. Usaha untuk merayu musuh agar menghentikan perjuangan mereka yang tanpa harapan kembali dilakukan oleh Jenderal Erskine dengan mengirimkan tawanan Jepang dan seorang prajurit Amerika keturunan Jepang untuk menghubungi pasukan yang bertahan. Namun Jenderal Kuribayashi menganggapnya sebagai suatu muslihat yang kekanak-kanakan dan mengabaikannya. Pada 17 Maret, Mayor Horie di Chichi Jima menghubungi Jenderal Kuribayashi untuk memberitahukan mengenai kenaikan pangkatnya menjadi Jenderal Penuh. Pada malam 23 Maret Horie menerima pesan terakhir dari Sang Jenderal : “Kepada seluruh perwira dan prajurit di Chichi Jima­­, selamat tinggal dari Iwo Jima.” Pada 26 Maret menjelang subuh, sekitar 200 sampai 300 orang tentara Jepang dari Lembah Maut dan posisi lainnya di pesisir barat diam-diam merayap melalui jurang di sektor Divisi ke-5 ke daerah perkemahan yang berada di antara Lapangan Udara No.2 dan laut. Perkemahan tersebut berisi pasukan Amerika dari berbagai macam kesatuan yang kebanyakan dari mereka sedang tidur dan merasa aman karena pertempuran hampir berakhir. Dalam serangan dari tiga arah pasukan Jepang merobek tenda, menusuk orang-orang yang tidur, melempar granat serta menembakkan pistol dan senapan ke arah orang-orang yang masih mengantuk. Ketika fajar, apa yang menunjukkan kehebatan pertumpahan darah tersebut bisa terlihat : 44 orang awak udara dan 9 orang Marinir tewas, 119 orang luka. Dari pihak penyerang 262 orang tewas dan 18 orang tertawan.

Setelah itu, kematian dari Jenderal Kuribayashi masih diselubungi misteri, jasadnya tidak pernah ditemukan. Selama bertahun-tahun beragam sumber telah mengemukakan bahwa dia gugur dalam pertempuran di sekitar Lembah Maut atau bahwa dia bunuh diri di markas besarnya. Yang tidak dipungkiri adalah Bahwa Jenderal Kuribayashi merupakan Jenderal terbesar Jepang pada masa perang dan menurut pendapat Lentan Jenderal Holland M. Smith: “Musuh kami yang paling mengagumkan.”

Kesudahan

Operasi Detacment direncanakan dan dilaksanakan sesuai kebutuhan zaman. Iwo Jima merupakan ancaman utama bagi operasi militer Pasukan Angkatan Udara ke-20 terhadap daratan Jepang dan pendudukannya sangatlah penting, seperti yang dibuktikan statistika kemudian. Total 2.251 pesawat pengebom B-29 Superfortress melakukan pendaratan darurat di pulau tersebut selama dan sesudah perang. Jumlah itu mewakili 24.761 awak yang mungkin harus mendarat di lautan yang membentang sepanjang 1.300 mil diantara Jepang dan Kepulauan Mariana dengan kesempatan selamat kecil apabila Iwo Jima tidak dikuasai.

Direbutnya kepulauan Filipina dan invasi ke Okinawa pada April 1945 mempercepat jalannya perang. Serangan bom api Pasukan AU Ke-20 dan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mengakhiri semuanya. Dalam hal ini, pulau Iwo Jima yang telah direbut dengan korban jiwa pasukan Marinir yang sangat besar, berperan penting dalam peristiwa-peristiwa itu.

Daftar Pustaka

Wright, Derrick. 2012. Iwo Jima 1945. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Ojong, P.K. 2001. Perang Pasifik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hama. Erskine. Williams. 2008. Pulau Teror: Pertempuran Iwo Jima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

  1. Majalah Angkasa Edisi Khusus Perang Asia Timur Raya: Kedigdayaan Dai Nippon. Jakarta: PT. Gramedia.

Tinggalkan komentar