MilitaryAddictBlog

"berisi tulisan-tulisan tentang informasi yang berkaitan tentang fakta, analisa dan fenomena tentang sejarah dan militer. melawan lupa teruntuk peristiwa yang pernah singgah di setiap riak langkah kehidupan manusia"

Category Archives: Tak Berkategori

Konstelasi Politik Global Pasca Perang Dingin

Setelah Perang Dingin berakhir (1991), proses transformasi dalam masyarakat serta kelembagaan dunia berlangsung semakin cepat. Proses globalissi yang terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya pada system transportasi, komunikasi, dan teknologi. Serta gejala regionalisme yang protektif dalam bidang ekonomi, pertahanan-keamanan, social-budaya maupun politik. Negara-negara di dunia akan mempersiapkan diri masing-masing mengamankan eksistensinya dengan berbagai cara. Negara maju kian bertambah maju, dengan cara akan mempertahankan berbagai asset ekonomi maupun jalur-jalur strategis sumber bahan baku serta mempersipkan konsep geopolitik dan geostrategi. Berlangsungnya transformasi masyarakat merupakan proses evolusi yang tidak dapat dihindarkan. Ada beberapa bentuk transformasi dalam konstelasi sistem internasional:

• Transformasi tatanan politik global (secara politik jelas bergeser dari bipolar menjadi unipolar atau hegemoni, namun secara ekonomi lebih cenderung multipolar).
• Semakin menguatnya keterkaitan antara forum bilateral, ragional, dan global.
• Semakin bervariasinya hubunganinternasional baik dari segi besarnya peran maupun kekuatannya.
• Munculnya berbagai isu baru dalam agenda internasional.

Beberapa Negara yang mengalami konstelasi politik internasional, yaitu:

A. Uni Soviet dan Eropa Timur
Pada tahun 1990, pemerintahan baru telah terbentuk dihampir semua negara Eropa Timur. Dilatarbelakangi oleh pertentangan atas pemerintahan komunis di Negara-negara Eropa Timur yang telah memerintah sejak tahun 1940-an. Didukung oleh deklarasi Uni Soviet yang isinya Kremlin tidak akan lagi menggunakan kekuatan militer dan sesuai dengan pernyataan Mikhail Gorbachev yang membebaskan penduduk Eropa Timur untuk memilih sendiri bentuk pemerintahannya. Hal ini mendorong Negara-negara yang menganut ideologi komunis untuk melakukan reformasi pemerintahan dan meninggalkan ideologi komunis. Bahkan peta politik Eropa telah berubah dengan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur pada 3 Oktober 1990. Di dalam negeri Uni Soviet sendiri telah terjadi perubahan yang mendasar di tahun 1991. Selama masa pemerintahannya, Gorbachev membawa pemikiran-pemikiran baru. Glasnost, kebijakan Gorbachev untuk membuka Uni Soviet dari dunia luar telah banyak diterima masyarakat Uni Soviet. Reformasi politik yang dilakukan Gorbachev yaitu demokratizatsiya, juga telah diterima oleh penduduk Uni soviet. Karena kebijakan reformatif yang dilakukan oleh Gorbachev mendorong kelompok konservatif untuk melakukan kudeta kepada pemerintahan Gorbachev pada bulan Agustus 1990. Namun kudeta tersebut berhasil digagalkan oleh Boris Yeltsin dan kelompok reformasi yang ada di Uni Soviet. Dampak dari kudeta tersebut menyebabkan popularitas kekuasaan Gorbachev dan kredibilitas Partai Komunis menjadi berkurang, sedangkan yeltsin dan kelompok reformis mendapatkan dukungan dari masyarakat Uni Soviet untuk melakukan reformasi. Hasilnya Yeltsin melakukan pertemuan dengan Presiden Ukraina dan Belarusia pada bukan Desember 1991 dan mendeklarasikan bahwa Uni Soviet akan berhenti sebagai Negara pada 1 januari 1992 dan digantikan oleh 15 negara merdeka baru.

B. Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki kekuatan di semua kategori sebagai suatu Negara besar, sehingga Negara itu menikmati keunggulan peran dalam politik internasional (Layne, 1994: 244).
1. Konstelasi sistem internasional pasca perang dingin bergerak ke arah bentuk unipolar, dimana Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal setelah Uni Soviet runtuh.
2. Sebagai satu-satunya Negara adikuasa setelah perang dingin, Amerika Serikat memainkan peranan yang sangat penting untuk membuat dunia dapat semakin tertib atau membiarkannya menjadi tidak tertib. Dalam menghadapi bahaya yang ada, harus diakui bahwa meningkatnya suatu konflik tergantung dari apa yang dilakukan Amerika Serikat dalam menangani konflik itu. Sehingga ketertiban dunia sangat tergantung terhadap Amerika Serikat dari apa pilihan yang diambilnya dan kepemimpinan yang dijalankannya (Brzezinski, 1992: 5).
3. Setelah berakhirnya perang dingin, Amerika Serikat telah menunjukan kepemimpinannya dalam dunia internasional, seperti yang terlihat dalam penanganan konflik yang terjadi di Bosnia. Pada 5 Oktober 1995, dipimpin oleh wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Richard Halbrooke, perjanjian gencatan senjata disetujui oleh pihak-pihak yang bertikai. Pada bulan November 1995 pihak-pihak yang bertikai bertemu di Dayton,Ohio untuk membicarakan kesepakatan damai. Setelah beberapa minggu melakukan negosiasi, Persetujuan Dayton” diterima oleh kedua belah pihak dan ditandatangani pada tanggal 14 Desember 1995 di Paris. Persetujuan ini berisi tentang adanya federasi Kroasia-Muslim dan Republik Serbia dalam satu Negara Bosnia, dengan Sarajevo tetap sebagai ibukotanya.
4. Presiden Clinton pada tanggal 27 November 1995 menyatakan bahwa pasca perang dingin, kepemimpinan Amerika Serikat tetap diperluksn untuk menjaga perdamaian dunia. Dalam proses penyelesaian konflik Bosnia, Amerika Serikat telah menjadi pemimpin dan bekerjasama dengan NATO dalam mendamaikan pihak-pihak yang berkait.

C. Asia Tenggara
Salah satu langkah penting yang dihasilkan ASEAN dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak transformasi dunia setelah terjadinya perang dingin (1991) ialah dengan dibentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pada Juli 1993.
Berdirinya ARF adalah tindak lanjut dari kesepakatan KTT ASEAN ke-4 di Singapura tahun 1992. Forum ini merupakan wadah dan sarana saling tukar pandangan dan informasi secara terbuka mengenai berbagai masalah, mulai dari politik sampai lingkungan hidup. Secara khusus pula forum ARF ini ditujukan untuk bisa bersama-sama memecahkan masalah-masalah politik internasional dan inter-regional dibanding masalah-masalah besar yang potensinya justru timbul dari lapisan paling dalam, yakni bersumber dari problematic nasional masing-masing Negara khususnya di ASEAN.
Kepentingan utama ASEAN mewujudkan ARF adalah berusaha mencapai sasaran objektif terciptanya kawasan damai, bebas, dan netral dengan cara saling membantu, saling percaya melalui terciptanya transparansi (lazim disebut Confidence building Measures), serta mencegah kemungkinan timbulnya ketegangan dan konflik di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya melalui jalur dan sarana diplomasi (preventive diplomacy).
Selain itu, isu yang menjadi konstelasi politik pasca perang dingin dikawasan Asia Tenggara ialah masalah politik klaim di wilayah laut China Selatan. Potensi konflik yang utama adalah masalah klaim enam Negara atas wilayah kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel serta klaim-klaim tumpang-tindih atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) oleh Negara-negara disekitar Laut China Selatan. Spratly diklaim oleh 6 negara (Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia. Paracel diklaim oleh 4 negara (Tiongkok, Taiwan, Vietnam dan Filipina). Masalah pokok yang menimbulkan atau memicu potensi konflik di Laut China Selatan adalah kepentingan untuk menguasai serta memanfaatkan sumber-sumber daya alam strategis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan potensi konflik di Laut China Selatan cenderung bisa meningkat menjadi konflik dan membahayakan stabilitas kawasan, yaitu :
1. Berlakunya kondisi kekosongan kekuasaan (vaccum of power) yang diiringi oleh tidak adanya perimbangan kekuatan. Cerai berainya Uni soviet, melemahnya kekuatan dan peran global Rusia, penghapusan pangkalan Amerika Serikat (AS) di Filipina dan transformasi militer Tiongkok dengan melakukan modernisasi Alutsista-nya sejak pertengahan tahun 1990-an dan mewujudkan doktrin Blue Water Navy menjadikan ancaman kedaulatan negara disekitarnya.
2. Klaim territorial yang tumpang tindih dan cenderung berubah-ubah.
3. Berlangsungnya langkah-langkah atau tindakan-tindakan provokatif dari Negara-negara yang mengklaim wilayah territorial, ZEE, pualu-pulau dan gugus karang tidak bertuan.
Peran Indonesia dalam menyikapi konflik di Laut China Selatan, walaupun tidak ikut terlibat dalam konflik Laut China Selatan, Indonesia layak merasa berkepentingan
terhadap pengelolaan potensi konflik di Laut China Selatan tersebut. Baik untuk kepentingan nasional Indonesia, maupun untuk kepentingan regional Asia Tenggara. Indonesia dapat berperan sebagai pemrakarsa dan sekaligus mediator dalam mengupayakan penyelesaian konflik serta mencegah berlanjutnya potensi-potensi konflik menjadi konflik baru.
___________________________________________________________________________

Sumber :
Drs. T.May Rudy, S.H., MIR., M.Sc. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. PT. Refika Aditama. 2002. Bandung